Sabtu, 15 Februari 2025
Benarkah engkau pejuang? Atau engkau hanya pengkhianat? Betulkah engkau pahlawan? atau engkau hanya pengecut? Benarkah engkau pemenang? atau engkau hanya pecundang? Engkaukah pembaharu itu, atau engkau hanya sampah? Engkaukah harapan kami? atau engkau hanya seonggok bangkai busuk?
Entah mengapa pertanyaan-pertanyaan ini tiba-tiba merasuk dalam benakku saat ingin menulis. Aku teringat Anas bin Malik yang selalu menangis tersedu-sedu sebab mengingat musibah yang menimpa dirinya di perang Tustur.
Perang itu memang membuahkan kemenangan, kemenagan yang begitu gemilang. Kemenangan yang diraih setelah penantian panjang melelahkan. Dua tahun kaum muslimin berada di sana. Dalam jangka waktu itu mereka melakukan kontak senjata sebanyak delapan kali. Tiga puluh ribu muslim melawan tentara kafir seratus lima puluh ribu. Mereka mengepung benteng Tustur yang kokoh. Benteng yang menjadi lambang keangkuhan dan kesombongan penentang Allah.
Anas bin Malik berhasil menjebol benteng itu. Ia sahabat yang agung. Rasulullah pernah mendoa khusus untuknya, "ya Allah perbanyak hartanya, anak-anaknya dan masukkan ia kedalam surga." Doa nabi terkabul dan Anas pun berkata, sungguh saya telah mendapatkan harta dan anak yang banyak, seratus dua puluh enam orang anakku kukuburkan dengan tanganku sendiri. Kini aku mengharap doa yang ketiga, semoga surga juga jadi tempatku nanti.
Dialah Anas sang pelayan Rasulullah. Saya menjadi pelayan nabi selama sepuluh tahun, katanya suatu ketika. Dialah Anas, sahabat yang begitu maqbul doanya. Seorang sahabat nabi yang lain datang padanya, hai Anas, bumi kami kering, tak ada hujan, kami haus. Anas berwudu, salat dua rakaat dan berdoa. Awan pun bergerak berarak beriringan, langit menghitam dan hujan pun turun.
Lalu mengapa Anas menangis, bukankah ia seorang sahabat agung nan mulia. Bukankah ia telah berhasil memenangkan peperangan? Bukankah ia telah menang? Bukankah ia telah melakukan apa yang disebut oleh Rasulullah sebagai tsarwatu sanami al Islam? Lalu mengapa ia menangis?
Tidakkah engkau telah berjihad dalam perang Tustur itu? Bukankah pahala yang dijanjikan Rasulullah berupa ampunan atas dosa-dosa saat engkau terluka dalam perang itu? Bukankah para para bidadari surga yang jelita itu telah menantimu di sana? Bukankah tujuh puluh orang anggota keluargamu yang sudah dicap penghuni neraka bisa engkau bebaskan karena amalmu itu? Lalu mengapa engkau menangis?
Anas menangis sebab ternyata tak ada arti baginya jihad saat itu. Hampa rasanya jihad yang ia lakukan. Hambar kenikmatan berjihad itu sebab ada yang lebih tinggi dari jihad yang lambat ia tunaikan. Tak ada yang patut dibanggakan oleh Anas dengan jihad itu. Sebab gara-gara itu ia terlambat melakukan ibadah yang sungguh jihad tak mampu menandinginya. Kemenangan itu bagi Anas adalah kesedihannnya. Dengan kemenangan itu Anas tak menunaikan ibadah yang paling tinggi tepat pada waktunya. Apa ibadah paling tinggi itu?
Ibadah itu adalah salat subuh berjamaah di awal waktu. Disebabkan jihad inilah Anas menunaikan salat subuh setelah matahari tersenyum lebar. Ia baru mensujudkan kepalanya dalam rakaat salat subuh ketika matahari pagi sudah menguning di ufuk timur. Ya, inilah yang membuat Anas menangis. Anas selalu menangis sebab satu salat subuh yang ia lakukan bukan pada waktunya itu.
Kini saya harus bertanya pada diriku sudah berapa kali salat subuh yang kulakukan bukan pada waktunya? Sudah berapa banyak ibadah ini yang kulakukan setelah matahari bernyanyi. Lalu sedihnya lagi karena saya tidak bisa menangisi diri ini yang sunguh sudah sangat malangnya.
Anas terlambat menunaikannya sebab ia berperang yang tidak memungkinkannya beribadah tepat waktu. Benteng Tustur dikepung dua tahun lamanya. Hingga suatu malam, tepatnya dini hari, Anas berhasil menjebol pintu benteng itu. Para tentara masuk menyerang, menghabisi musuh yang kejam. Perang sangat dahsyat pun berkecamuk, mereka menang. Saat kemenangan itu diraih matahari telah terbit, barulah mereka sadar bahwa belum ada yang menunaikan salat subuh. Dan sekali lagi, Anas menangisi satu salat subuh ini.
Sebenarnya tak perlu menangis ia , ia punya uzur yang membuat terlambat. Apalagi uzur itu adalah kerja yang begitu agung, jihad. Tapi tetap saja bagi Anas subuh berjamaah tepat waktu lebih mulia dari semuanya.
Sedangkan saya, masih belum bisa memaknai keagungan salat subuh berjamaah di masjid. Akibatnya masih sering tak peduli dengan ibadah ini. Hingga menunaikannya walapun tak sesuai dengan keinginan nabi tak pernah aku risau. Tak pernah aku merasa penting untuk menangis. Aku tak merasa kehilangan. Aku tak merasa sakit yang menusuk-nusuk. Itulah mungkin sebab mengapa pertanyaan pertanyaan di awal tulisan ini harus terus diulang-ulang.
Zagazig, 2009
18 Rabiul Akhir 1430 Hijriah
Ahsanur Ahmad