Sabtu, 01 November 2025
 
                        Ia masih bocah, masih bau kencur, tiga belas tahun saat itu. Usia anak kelas dua SMP kini. Masih sangat muda, masih begitu hijau. Tapi, kemudaannya, hijaunya, dan kebocahannya tak membuatnya kanak-kanak. Ia telah dewasa di usianya yang sangat belia. Pikirannya besar, besar sekali. Melebihi pikiran orang-orang dewasa zamannya. Pikiran yang menembus langit, menembus ruang dan waktu. Semangatnya tinggi melampaui usianya. Gelora hatinya mempecundangi orang-orang tua di masanya.
Hari itu, ia datang menghadap sang Nabi. Pedangnya yang panjang melebihi tinggi dirinya terseret-seret dibawanya. Ia meminta izin pada sang Rasul untuk ikut berperang membela agamanya. Rasul tersenyum, bangga dengan semangatnya. Namun belum ada izin baginya untuk ikut. Masih terlalu kecil. Ia sedih, sangat sedih. Kembali ia dengan tangis menganak sungai. Air matanya tumpah. Perih hati ia melihat dirinya tak boleh ikut membela Islam.
Di hadapan ibunya tangisnya menjadi-jadi. Sang ibu perempuan cerdas yang mengerti bagaimana seharusnya berbuat. Dihadapi anaknya dengan penuh kasih. Di bujuk dan dirayu sang buah hati. Diberi pemahaman. Islam itu luas. Beramal untuk Islam juga begitu luas. Saat jalan satu tertutup ada sejuta jalan lain yang membuka diri untukmu. Terperangah ia mendengar kata ibunya. Benarkah itu bunda? Iya, Bukankah ananda pintar membaca, lincah menulis? Kemampuan ananda langka, dihitung jari yang bisa sepertimu. Ini zaman di mana kekuatan hafalan menjadi sandaran. Jangankan menulis membaca saja tak di pakai. Ia pun tersenyum. Di sini saya bisa berjihad. Secepat angin dia mengajak ibunya menghadap Rasul. Ia ingin kemampuannya ini di sumbangkan untuk Islam.
Rasul pun bangga. Ia diangkat menjadi sekretaris, sekretaris negara. Di umurnya itu ia mencatat wahyu dan menulis surat untuk raja-raja luar Islam. Dan hingga kini sejarah mencatat bahwa Zaid bin Tsabit adalah penulis wahyu paling terkemuka.
Sejarah awal Islam harum oleh mereka yang masih muda. Bukan cuma zaid yang menoreh sejarah emas, masih banyak lainnya. Ada Muadz bin Jamuh. Ia juga muda. Empat belas tahun usianya. Tapi tangannyalah yang menebas betis Abu jahal hingga putus.
Ada Arqam bin Abi Al Arqam. Usianya saat itu masih enam belas tahun namun ia sudah mampu memikirkan kemajuan agamanya. Ia sudah memikirkan perkara besar yang sangat mengancam nyawanya. Ia berasal dari qabilah Bani Makhzum, qabilah pimpinan Abi Jahal laknatullah. Musuh besar Rasulullah yang berhati singa. Ia Manusia yang tidak tahu berlemah lembut. Bahasanya adalah kekerasan dan darah. Namun Arqam tidak gentar meneriman keputusan nabi untuk menjadikan rumahnya sebagai pusat Tarbiyah dan pembinaan pemuda Islam.
Kita jangan membayangkan Tarbiyah di zaman Rasulullah mudah. Tidak, ikut pada Tarbiyah Rasulullah sama dengan menggali kuburan sendiri. Sulitnya lagi sebab Abu jahal yang memimpin langsung daerah yang didiami Arqam bin Abi Al Arqam. Bagaimana jika nanti Abu Jahal tahu bahwa ada warganya yang melindungi Rasulullah dan menjadikan rumahnya sebagai markas dakwah.
Tapi Arqam bukan pengecut yang ngeri dengan kematian. Dia juga bukan lagi anak-anak yang tidak tahu strategi. Bukan lagi anak-anak kecil yang tidak tahu menyimpan rahasia. Bukan lagi bocah yang tidak tahu taktik pengamanan. Buktinya selama tiga belas tahun Rasulullah berdakwah tak satupun musyrik Mekah yang tahu bahwa dari rumah itulah semua taktik dan strategi dakwah disusun. Di rumah itulah manusia sebengis Umar berubah menjadi orang lembut yang suka menangis lalu memipin dunia saat ia menjadi khalifah.
Dan ini cerita lain, tapi isinya sama. Juga tentang pemuda yang sudah sangat matang. Sebuah cerita perang dan kematian. Perang yang tidak kecil, perang besar yang sangat dahsyat. Musuh yang dilawan juga tidak kecil, sangat besar lawan yang akan ditundukkan itu. Imperium Romawi, bayangkan sendiri bagaimana Amerika sekarang. Kurang lebih seperti itulah Romawi saat itu. Namun dengan gagah berani pasukan muslim menantang mereka untuk tunduk dalam aturan Islam. Letih para sahabat mendengar kepongahan dan kedzaliman Romawi. Bosan mereka melihat kesewenang-wenangan rezim yang tak berperi kemanusiaan itu. Mereka harus di beri pelajaran.
Namun ada yang lebih dahsyat dari cerita perang ini. Panglima perang yang dipilih oleh sang Rasul adalah seorang anak muda. Delapan belas tahun usianya saat itu. Yang lebih menakjubkan lagi ternyata dalam pasukan yang dipimpinnya itu terdapat orang-orang besar yang tidak diragukan kemampuannya. Tidak diragukan kepiawaiannya dalam berperang. Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah bin Jarrah, Khalid bin Walid, Qa'qa' bin Amru yang kata Umar suaranya saja sama dengan seribu tentara.
Masih banyak tentara senior yang ada saat itu. Rasulullah tetap memutuskan untuk mengankatnya menjadi panglima perang. Meskipun ada beberapa sahabat yang menolaknya Rasulullah tetap pada keputusannya. Sudah pantas ia mendapatkan amanah ini. Jam terbangnya sudah tinggi, pengalamannya sudah melangit. Sudah sangat besar ia dan sudah sangat ahli dalam urusan ini. Iya,diusianya yang masih belasan tahun. Sedangkan saya, sedangkan diriku. Sudah tua, dua puluh lima usiaku.Seperempat abad. Apa yang telah kulakukan untuk agama ini? Oh, diriku. Semoga engkau segera tahu.
(refleksi di usia 25 tahun)
Ditulis oleh: Ahsanur Ahmad, Lc
