Sabtu, 15 Februari 2025
Subuh itu, saya tidak langsung pulang ke rumah. Saya tetap duduk di masjid hingga matahari terbit sambil berzikir. Janji Rasulullah dalam hadisnya ingin kugapai dengan mengamalkannya. Saya tidak sendiri, ada seorang tua yang mungkin usianya sekarang sudah lebih enam puluh tahun. Nampak kurang terurus. Kepalanya ditumbuhi rambut tipis yang hampir semuanya memutih. Tubuhnya tidak tinggi seperti kebanyakan orang Mesir. Jika salat dan saya berdiri didekatnya kepalaku dengan kepalanya sejajar. Pakaiannya lusuh dan nampak kotor. Kaus kaki yang dia pakai robek ujungnya. Menampakkan jari-jari kakinya yang kedinginan. Matanya cekung tanda kurang tidur sebab jika malam ia harus meronda. Kalaupun tidur harus dalam keadaan duduk. Sudah beberapa kali saya mendapatinya tidur dalam keadaan demikian saat pulang tengah malam karena ada agenda di luar rumah. Ia seorang bawwab atau satpam yang menjaga kemanan rumah.
Saat tidur dalam keadaan duduk, ia tetap peka hingga suara yang sangat kecil akan segera membangunkannya. Ia sadar tugas ini amanah hingga tak ada waktu istirahat baginya yang cukup. Kasian aku melihatnya.
Penasaran dengan kondisinya kuhentikan wiridku dan mananyainya. “Zayyak ya ammu, amil eh”. (bahasa arab ammiyah Mesir artinya, apa kabar Om) kataku padanya. “Alhamdulillah Allahu yaslah halak,(semoga Allah membaguskan keadaanmu) kamu harus minum teh bersama saya pagi ini”. Jawabnya dengan tersenyum. Senyum yang menggambarkan kebahagiaan hatinya. Senyum yang sungguh sangat kontradiksi dengan kondisinya. Seolah tak ada susah yang ia rasa. Selalu saja ia tersenyum, padahal bagi saya kehidupan yang ia jalani begitu berat dan sulit. Di malam hari ia mesti duduk di ruangan terbuka atau berjalan mengamat-amati keadaan sekitar rumah, jangan-jangan ada yang mencurigakan. Cuaca musim dingin tentu akan memperberat keadaannya. Saya saja yang tidur dengan selimut beralaskan kasur terkadang menggigil kedinginan dan tak kuat mengangkat tubuh untuk salat Subuh.
Saya menyeruput teh buatannya, manis dan sangat pas untuk menghangatkan tubuh pada cuaca 11 derajat celcius ini. Awalnya saya tidak mau minum teh bersamanya, entah mengapa saat melihat kondisinya, saya merasa berat untuk memenuhi keinginannya. Ada perasaan yang bukan-bukan dalam fikiranku. Namun saya teringat Imam Hasan Al Banna seperti yang diceritakan oleh Syekh Gazali dalam mukaddimah buku kumpulan khutbahnya. Beliau berkata bahwa Imam Al Banna adalah sang pecinta yang sangat tulus, cintanya bukan dibuat-buat atau pura-pura. Ia sering memeluk tanpa risih dan perasaan jijik seorang kuli kasar yang bepakaian kotor dipenuhi noda dan kotoran-kotoran.
Teh buatannya sudah hampir habis kuminum, pertanyaan-pertanyaanku tentang dirinya membuat saya berubah mengaguminya. Saya bertanya tentang berapa gaji yang diberikan padanya dari kerja seperti ini, ia dengan polos menjawab itu tidak penting yang jelasnya saya menjalankan amanah yang diberikan padaku dan ada Allah yang menanggung rezekiku. Saat saya berkata bahwa kita semua mesti masuk surga, segera ia menjawab dengan penuh semangat bahwa memang itu tujuan kita semua. Kepalanya dihadapkan keatas sambil mulutnya terus berucap ya Robb… ya Robb…..Kedua tangannya pun diangkat memperlihatkan keseriusannya berdoa .
Dan yang paling membuat saya terharu saat dia mengatakan bahwa saya beristeri dan punya delapan anak semuanya telah saya nikahkan keculi dua orang yang masih kecil. Dengan kehidupanmu yang seperti ini? Dan dia menjawab “iya, karena saya punya Allah”.
Oh Baba Muhammad. Terima kasih atas apa yang kau ajarkan. Pantas saja kau tetap tersenyum. Pantas saja setiap subuh kau terus kumandangkan panggilan tuhan tanpa peduli cuaca dingin, sebab ini untuk Allah. Dan aku pun teringat kata Ibnu Taimiyah, “di dunia ini ada surga, barang siapa yang tidak masuk kedalamnya, maka ia tak akan masuk ke surga akhirat. Surga itu adalah ma’rifatullah”. Dan engkau wahai baba Muhammad telah mendapatkan surga itu, surga dunia itu.
Ahsanur Ahmad
Zagazig, Mesir 1428 Hijriah