Kamis, 23 Oktober 2025
Asma, putri kesayangan Abu Bakar itu tidak mau kalah dengan ayahnya, meski perutnya semakin besar, tujuh bulan saat itu kandungannya. Sebenarnya tidak terlalu sulit jika hanya untuk memasak dan menyediakan makanan saja. Tapi nabi punya pikiran lain dan itu menjadi bukti betapa dia sangat brilian. Justru karena dia hamil, maka dia yang harus menjalankan misi berbahaya itu. Berjalan berkilo-kilo meter mendaki terjalnya bukit Tsur untuk mengantarkan makanan pada Rasulullah dan bapaknya yang sedang bersembuyi dari kejaran musuh. Demikian juga Ali, pemuda yang masih sangat hijau itu harus siap menjadi korban pembunuhan paling mengerikan dari sebuah konspirasi yang sudah sampai pada puncaknya.
Itu sepotong cuplikan kisah hijrah yang sangat heroik. Selengkapnya kita bisa menemukannya dalam Sirah Nabawiyah; Durusun Wa Ibar nya Dr. Musthafa Sibai, atau Manhaj Al haraki fi Sirah Annabawiyah Dr. Munir Al Gadhban dan banyak lainnya yang tak terhingga. Lebih menarik lagi jika kita membaca apa yang ditulis oleh guru kita di Azhar, Prof. Dr. Abdul Hayyi Husain Al Farmawi. Guru besar tafsir yang pernah dipenjara rezim Mubarak dengan tuduhan membelikan pesawat untuk HAMAS, beliau mengatakan bahwa alasan utama nabi berhijrah adalah untuk mendirikan negara. Iya, mendirikan negara.
Memang dalam buku yang berjudul Durusun Tarbawiyah Min Hijrah Annabawiyah itu banyak disebutkan pelajaran dari hijrah Rasulullah, tapi sepertinya alasan mendirikan negara itu yang paling menarik untuk kita tanamkan dalam-dalam di sanubari. Alasannya sederhana, kita ingin mengubur habis ajaran sekularisme yang kini perlahan menjalar dalam pikiran banyak umat Islam. Sangat disayangkan sebab pikiran ini banyak dijajakan oleh mereka yang mendaku diri pelajar agama. Lebih tragis lagi sebab pikiran rapuh ini di koar-koarkan oleh mereka yang bergelar alim dan dijadikan panutan.
Anis Matta dalam bukunya Dari Gerakan ke Negara mengatakan, pengertian paling sederhana dari sekularisme adalah agama dan negara harus bercerai; agama milik pribadi, sementara negara milik publik; agama hanya boleh bermain di masjid, sementara negara bermain di jalan luas.
Memang tidak semua kita harus jadi politisi dan sibuk mengurus dan memikirkan negara. Islam tidak mengajarkan kita seperti itu. Semua bekerja sesuai bidangnya masing-masing, selama itu dalam koridor kebaikan dan fastabiqul khairat. Tapi satu hal yang tidak bisa dipungkiri, umat Islam sampai hari ini hanya menjadi pendorong mobil mogok. Saat mobil mogok mereka diminta-minta lalu akhirnya ditinggalkan. Penyebabnya diantaranya; umat alergi dengan politik. Umat ini masih sangat sedikit yang perhatian dengan urusan negara. Acuh dengan apa yang terjadi pada lingkup penguasa dan para pengambil kebijakan.
Padahal dahulu, dalam sejarah kegemilangan Islam, seorang perempuan biasa, bukan pembesar apalagi isteri raja. Sejarah bahkan tidak mengenal siapa namanya. Dengan penuh percaya diri ia berdiri menegur dan membantah keputusan Umar Al Faruq, sang khalifah kala itu.
Firaun mendaku diri sebagai tuhan lalu sewenang-wenang dan bertangan besi itu bukan kebetulan. Itu bukan salah dia seorang. Itu kesalahan kolektif dari rakyat yang tidak tahu melawan. Itu kepengecutan bangsa yang memilih menjadi budak daripada berucap tidak. Dengarlah Al Quran bercerita tentang kaum itu, “Maka Fir’aun menakuti-nakuti kaumnya lalu mereka pun mentaatinya.” (Azzukhruf: 54).
Maka, di bulan Muharram ini, di bulan yang menjadi awal tahun umat Islam, mari bertanya; sudah sejauh mana peran masing-masing dalam menjadikan Islam menegara? Sudah sebesar apa usaha membuat Islam berkuasa? Sampai dimana langkah menjadikan Islam berada di pucuk-pucuk pengambil keputusan?
Benar, tanpa negara Islam tetap ada. Tanpa kekuasaan, umat Islam masih bisa tetap salat dan menjalankan ritual-ritual lainnya. Tapi saya lebih percaya perkataan Utsman Bin Affan,”Innallaha layaza’u bissulthan ma la yaza’u bil quran.”(Sesungguhnya Allah lebih mencegah kemungkaran dengan kekuasaan daripada dengan Al Quran).
Atau perkataan Imam Al Gazali dalam Ihya’nya,”Agama dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang. Agama ibarat bangunan dengan pondasi yang kokoh, sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Semua yang tak berpondasi akan tumbang. Dan segala yang tak berpenjaga akan hilang.”
Dan saya sangat yakin dengan sabda nabi,”Sungguh tali Islam akan putus satu persatu….Yang paling pertama putus adalah kekuasaan, yang terakhir adalah salat.”
Iya, tali pertama itu benar-benar telah putus hampir seabad lamanya. Siapkah Anda menyambungnya kembali?
Kairo, Januari 2014
*Saat diri masih terkagum-kagum sama seseorang
Ditulis oleh: Ahsanur Ahmad